aku yang tegak di anjungan dengan seutas benang dan layang layang
angkuh berteriak kegirangan pada angin sepoi buritan.
“bawa kami ke pulau pulau”
dimana pala dan kopra akan menjadi pengisi perut anak anak kami
karena sekarang tak akan ada lagi culturstelsel
ato ambon massacre
tak ada lagi gundah serapah pada lautan tak bertuan
apa yang diinginkan anjungan selain angin buritan, biru dan lompat tarian lumba lumba?
sedang goyang layang layang pun indah macam ‘tarian tiang‘
binal memabukkan laiknya rum rum satu abad di gudang bawah tanah tuan tanah
perjalanan yang indah
sesampai palung disebelah pulau ber-sabana lebar
angin hitam bergulung di timur tampak mendekat dengan bisik bisik macam penjilat ber-rabies
“hei lihat, sebuah layang layang terjuntai tenang dengan benang rapuh tertambat di anjungan yg juga rapuh”
lalu gumulan pun berputar membentuk pusara yang ingin melumat dari arah yg lebih dari 8 mata angin
dan aku bersiap seperti Tunggul Ametung menghadapi Arok di dapurnya, di Keputrennya sendiri
si tua lambat di anjungan kapal yg lelah dengan perjalanan
pasrah??
tetap ku pegang erat ini benang layang layang
sedang sudut mata menangkapnya menari meronta nakal setelah melihat gumulan
lacur!! ku tantang kalian di anjungan yang rapuh kalian bilang.
tak akan kuturunkan kau layang layang meski ku tahu akan terhempas dan hilang di antah..
Kemarilah, sambut ajalmu..
dan lautan kembali hening
tertampak sebuah layang layang melayang jatuh
mengambang sebentar lalu lebur membasah tinggal rangka dilautan maha dalam.
malang, 131209
14.43 wib