Jalan Pattimura
tadi, saat aku lintasi jalan Pattimura
seekor kucing nyaris mati di kilometer dua
untung dia berkelit tepat seperempat detik sebelum roda ini melindasnya
“aman”, katanya sembari mengatur nafas di bawah portal gang tiga
sesampai di pertigaan Untung Surapati
seorang lelaki paruh baya buntung kaki bingung menyeberang jalanan ramai ini
tengok kanan tengok kiri sampai tengadah angkat tangan pun tak ada peduli
seperti halnya aku yang hanya melihatnya dan terus saja berlalu pergi
kemudian tergopoh berjalan mendekat anak kecil dekil dan bau kelihatannya
saat aku berhenti di bangjo perempatan kilometer lima
tanpa basa-basi mengetuk kaca dan segera riuh degan ecek-ecek dari tutup botol coca-cola
menyanyikan lagu macam ‘titip rindu buat ayah’ sedang aku menolehpun tidak apalagi membuka kaca
saat rodaku menapak depan Ramayana
tertampak bapak buntung menelapak minta keping logam atau kertas ber-angka
sepertinya dia macam veteran perang yg terlunta dan terpinggirkan tak ubah film-film dokumenter berdasar realita
atau mungkin saja salah satu korban bencana ini negeri, meledak di tambang batubara misalnya
sedang aku terhenyak saja, takut di klakson dengan irama makian dari Cevrolet di belakang kalau keluar beri kertas berharga
jalan Pattimura berbelok ke utara, tepat di depan hotel bintang lima paling bersinar di kota
seorang ibu tua dan anaknya terjatuh hampir kena rear wing oversize toyota supra
yang keluar lobi dengan drifting ala Tseguri Kanata
sedang penonton adegan live ini hanya tertawa saat si joki berteriak sambil buka kacamata “hei matamu taruh dimana?”
setelah kulintasi jalan Pattimura dan sampai dirumah seperti biasanya
semua seperti biasa saja, membuka garasi dan menuju ruang ganti
seperti hari-hari biasanya, tanpa rasa apa-apa
seperti hari ini, semua biasa saja..
Angklung 10. lantai 1, 16 februari 2010
18.47 wib
sajak yang tak pernah bisa terselesaikan
masihkah kau ingat tentang kota ini, cintaku?
saat kau berlari atas rerumputan di rindang pinus cemara
lereng hijau beraroma teh dan dengung kumbang,
dan kau pun menjerit riang di kala pucuk-pucuk embun nakal, basahi jemarimu
angin yang sama sama kurasakan kini, cintaku
dia yang geraikan rambutmu persis di potret itu
sebingkai penuh bunga yang ku petik di sepanjang jalan naik Selecta
tempat kau teriakkan parau,
“aku cinta kamu, dan kotamu”
mungkin tak kau temui disini, cintaku
nada garengpung dan musim kawin kupu-kupu kuning
namun bisa kau raba kabut turun
lalu melenggang di sela mawar dan kupu-kupu yang lain
disini tidak ada derai basah ombak pemecah karang, cintaku
tak ada pula desau ilalang dan aroma sabana panas kering
pernahkah kau temui hujan yang mengembunkan kaca-kaca, cintaku?
atau siluet senja terbata di antara Panderman dan Putri Tidur?
mungkin juga celotehan atap tentang terang mana lampu kota dan bintang disana
rindukah kau pada teratai di alun-alun kota?
bunga-bunga, cemara dan kabut menanyakanmu, cintaku
kemana gadis mungil ber-syal kuning itu berlalu?
lalu kujawab apa ke mentari nanti?
dingin ini semakin mengenangmu cintaku
dingin yang sama seperti masa dimana kau kembangkan lengan dan memelukku
apa masih kau kenakan jaket biru itu dulu?
yang aku tautkan di bahumu saat kau menggigil beku
dan aku tertawa cintaku, aku tertawa..
dingin itu kini masih menerpaku..
masih seperti itu, dan akan tetap seperti itu..
jika pesan tadi sampai padamu, cintaku
mawar-mawar ini masih berayun basah menyimpan tanya resah tentangmu
lereng dan kabut menantimu cintaku, menantimu..
sedang aku masih berdiri dingin, membeku
masih sama di tempat aku melepasmu pergi, dulu itu..
———————————————————————————————————-
Chanoyu Swarnadwipa
Tuan,
kami yang memasak air dari sumur yang tercemar ini merkuri
menyapamu..
kemari saja Tuan, teh hangat kami mengepul ragu
tentu saja tidak beraroma manis melati, atau madu
lalu kenapa kalian malu-malu begitu
senyum itu tetap kelihatan palsu
apa yang menahanmu, Tuan?
bau-bau ledhus dari tubuh mbladhus kami, membuatmu bergidik ngeri?
ah, maklumi sajalah kami, ini tubuh kami yang jauh dari kalian
sedang air ini lebih baik di bikin teh atau kopi timbang buat mandi
Tuan,
kami yang penuh jilatan anjing dari tanah terpinggirkan ini,
menyapamu
kemari saja Tuan, akan kami nyanyikan lagu-lagu perjuangan dari rebana dan violin ini
lusuh memang, tapi masih bertaji mengusir emprit dari sawah-sawah kami
yang sebentar lagi berubah jadi gedung dan menara-menara keji
tempat kalian berpesta, lalu menari dengan pandangan kami punya iri
apa yang menahanmu, Tuan?
usah hiraukan anjing-anjing kami
lihat! kami anti rabies dan kusta, injak saja sampah dan kaleng-kaleng itu Tuan
beginilah isi gedung dan istana yang kami juluki
…
Tuan, masuk saja dan bergabung dengan ini kami punya surga
teh aroma merkuri dan goyang anjing di suatu senja
ya, di chanoyu swarnadwipa, mari berpesta
kami perlihatkan bagaimana kusta jadi raja
singsingkan Tuan, itu kalian punya baju,
turun dulu dari kendaraan perangmu itu ,
yang dikhususkan untuk mengubur rumah dan mimpi kami
hancurkan saja nanti, toh kami hanya menawari teh dan kopi
biarlah kami, berpesta dulu untuk terakhir kali
atas tanah yang dulu disemai dari darah yang tercecer dari moyang-moyang kami
sedang pertanyaan kemana moyang-moyangmu dulu berlari
tak sedikitpun ada di benak ini
…
Tuan,
kami yang berpesta di suatu senja dengan teh tercemar merkuri
menyapamu..
dari tempat-tempat anjing kurus menggonggong
dari anak-anak dengan kusta di gendong
dari belakang gedong-gedong kalian yang sombong
dari kehidupan dengan segala perut kosong melompong
dari balik kegagahan seragammu itu Tuan,
ada upeti buat anak kalian makan
sama seperti kami punya kerjaan
bedanya, kau gagah dan arogan, sedang kami selalu kelaparan
Tuan,
kami yang mulai berbenah pergi
menyapamu..
mengucapkan selamat tinggal pada tanah-tanah ini
pada anjing-anjing kami
bernyanyi lagu perjuangan sekali lagi
dan membiarkan kusta dan lepra mengisi tas-tas kami
sampai jumpa Tuan, suatu senja suatu hari
mungkin kalian yang menawari kami teh poci
beraroma melati bukan merkuri
dengan anjing pudel yang pandai menari
Malang, June 21, 2010
20,55 WIB